Jumat, 18 Desember 2009

Sejarah Asuransi Syariah


By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Asuransi Syariah atau takaful, kata itu memang baru dikenal di dunia secara populer sekitar 3 dasawarsa ini saja. Sebelumnya, kata ini tidak pernah disebut-sebut atau menjadi istilah atas sebuah konsep asuransi yang sesuai dengan syariah Islam. Karena asuransi syariah – dalam wujud seperti yang ada sekarang – memang sebelumnya tidak ada. Karena asuransi syariah adalah bentuk dari sistem asuransi (konvensional), yang lahir, tumbuh dan berkembang di Barat, lalu kemudian sistem operasionalnya disesuaikan dengan syariah dan nilai-nilai Islam, sehingga menjadi asuransi syariah atau takaful.

Namun demikian, bukan berarti bahwa asuransi syariah tidak memiliki cikal bakal atau embrio yang menjadi “acuan” dasar bagi berkembangnya konsep ini. Asuransi Syariah memiliki embrio dalam sejarah hukum Islam, yang kemudian menjadi acuan dalam berkembangnya asuransi syariah atau minimal memiliki beberapa sisi kemiripan dengan bentuk asuransi syariah modern. Berikut adalah beberapa akad atau konsep yang terdapat dalam literatur fiqh Islam, yang memiliki persamaan dengan konsep asuransi syariah :

Pertama : Nidzam Al-Aqilah

Nidzam Al-Aqilah adalah usaha untuk saling memikul atau bertanggung jawab terhadap sesama keluarga, yang melakukan satu tindakan dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Sebagai contoh apabila salah seorang dari anggota satu keluarga meninggal dunia karena kesalahan yang dilakukan oleh keluarga yang lain (yang terjadi tanpa unsur kesengajaan, seperti kecelakaan dsb), maka ahli waris korban akan dibayar dengan diyat (uang darah) sebagai kompensasi dari keluarga yang menabraknya. Saudara terdekat dari penabrak ini disebut aqilah. Mereka bersama-sama mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan yang tidak disengaja tersebut.

Terhadap sistem ini, Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengomentari bahwa Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini terlihat dari hadits yang menceritakan pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail, dimana salah seorang dari mereka memukul yang lainnya dengan batu hingga mengaikibatkan kematian wanita tersebut dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Pewaris korban membawa permasalahan tersebut ke Pengadilan. Rasulullah SAW memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik laki-laki maupun wanita. Sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah diyat yang harus dibayar oleh Aqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.

Meskipun tidak mirip secara konsepnya dengan asuransi syariah, namun pada nidzam al-aqilah ini terdapat unsur saling tolong menolong dalam membantu orang yang terkena musibah. Dan orang yang terkena musibah di sini adalah si penabrak, dan juga korban yang ditabrak. Keluarga saling bahu membahu membantu si penabrak (dengan bentuk pengumpulan uang untuk membayar diyat, dan umumnya diyat dibayar sejumlah 100 ekor unta), dan juga secara bersamaan membantu ahli waris pihak yang ditabrak (dengan uang diyat tadi). Sehingga secara filosofi, bahwa konsep ini mirip dengan asuransi syariah dari sisi saling tolong menolong terhadap keluarga korban, baik penabrak maupun korbannya. Bandingkan dengan asuransi (misalnya asuransi kendaaran bermotor), dimana ia harus mengganti kerugian pihak ketiga yang ditabarknya. Bedanya, dalam aqilah yang membayar adalah keluarga penabrak. Sedangkan dalam asuransi (syariah) yang membayar adalah sesama peserta.

Kedua : Tanahud

Tanahud merupakan ibarat dari makanan yang dikumpulkan oleh satu kelompok tertentu (misalnya kelompok kafilah musafir, atau satu suku tertentu) menjadi satu dalam satu wadah tertentu. Kemudian makanan yang telah dikumpulkan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka. Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengemukakan mengenanai tanahud atau an-nihd, “..(tanahud terjadi) dalam bentuk bahwa setiap orang (dari kelompok tersebut) membayar/ mengumpulkan makanan dengan kadar sama seperti yang dikumpulkan orang lain untuk keperluan perbekalan dalam perjalanan. Mereka membayar/ mengumpulkan dengan kadar yang sama, namun mereka tidak mendapatkan pembagiannya dengan jumlah yang sama. Bisa jadi ada diantara anggota kelompok yang mendapatkan jatah lebih banyak, dan ada juga yang mungkin tidak mendapatkan pembagian atau mendapatkan dengan porsi yang lebih kecil….”

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka.” (HR. Muslim, Kitab Fadha’il Shahabah, Bab Min Fadha’il Asy’ariyin)

Dalam Tanahud, konsep saling tolong menolong yang menyerupai bentuk dasar asuransi syariah sudah semakin terlihat, yaitu dengan adanya usaha bersama untuk saling memberikan kontribusi dalam bentuk makanan yang disimpan di satu tempat tertentu. Pada saatnya kemudian (seperti ketika sedang paceklik, atau gagal panen) makanan tersebut dibagikan kepada mereka secara merata, atau dibagikan sesuai dengan kadar kebutuhannya masing-masing.

3. Aqd Al-Hirasah

Aqd al-Hirasah adalah kontrak pengawal keselamatan yang disertai dengan jaminan. Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu seperti individu yang ingin selamat lalu ia membauat kontrak dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar uang kepada pengawal dengan k0npensasi keamanannya akan dijaga oleh pengawal tersebut.

Pada kontrak ini, memang tidak terlihat secara langsung adanya hubungan dalam bentuk kontribusi yang dibayarkan oleh seseorang untuk kepentingan orang lain. Namun dari sisi yang lain, bahwa aqd al-hirasah ini membawa pesan tentang perlindungan dari suatu aset atau bahkan juga jiwa, dengan cara membayar sejumlah uang tertentu kepada satu pihak yang menjaga keamanannya. Sehingga secara substansinya, aqd al-hirasah ini menyerupai konsep perlindungan dalam asuransi.

4. Dhaman Khatr At-Thariq

Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Para pedagang muslim masa lalu ketika ingin mendapatkan perlindungan keselamatan, mereka membuat kontrak dengan orang-orang yang kuat dan berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, sementara pihak lainnya menjaga keselamatan perjalanannya.

Sama halnya seperti aqd al-hirasah, substansi dari dhaman khatr al-thariq ini adalah perlindungan terhadap keselamatan jiwa maupun aset dengan cara membayar sejumlah uang tertentu. Terkadang dhaman khatr at-thariq juga bisa disertai dengan penjaminan atau penggantian apabila di tengah perjalanan seseorang yang telah membayar uang jaminan tersebut mengalami gangguan keamanan di wilayah tertentu.

5. Al-Qasamah

Al-qasamah merupakan sebuah konsep perjanjian yang berhubungan dengan manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran peserta dari suku atau majlis tertentu. Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris anggota suku atau mejlis tersebut yang meninggal dunia dan tidak diketahui siapa pelaku yang menyebabkannya meninggal dunia.

Secara konsepnya, al-qasamah hampir mirip dengan tanahud dan juga nidzam al-aqilah. Semuanya sama-sama memberlakukan kontribusi untuk saling tolong menolong. Bedanya pada al-qasamah ini pengumpulan “dananya” dilakukan di awal sebelum adanya kejadian anggota kelompok atau suku yang meninggal dunia. Selain itu, yang menerima manfaat adalah ahli waris yang salah seorang keluarganya ada yang meninggal dunia, namun tidak diketahui siapa yang melakukan pembunuhan (tidak sengaja) tersebut. Secara konsepsinya al-Qasalah lebih dekat dengan sistem asuransi (syariah), yang digunakan sekarang ini.

Perbandingan Antara Bentuk Embrio Asuransi Syariah Dengan Asuransi Syariah Modern

Bentuk-bentuk muamalah di atas, karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi syariah maka oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan asuan dari bentuk asuransi syariah yang dikelola secara profesional. Perbedaannya adalah bahwa sistem tersebut didasari atas amal tathawwu‘ dan tabarru‘ yang tidak berorientasi pada profit dalam pengelolaanya. Dan kendatipun secara konsep dasarnya asuransi syariah juga dibangun atas dasar ta’awuni, namun di sisi pengelolaannya, asuransi syariah sebagai sebuah institusi bisnis juga tetap memerlukan profit untuk operasional perusahaan serta kelangsungan usahanya.

Di sisi yang lalin, asuransi (konvensional) merupakan satu bentuk transaksi penjaminan yang lahir, tumbuh dan berkembang di dunia Barat, sehingga memiliki sifat watak dan karakter sebagaimana orang-orang barat. Beberapa nilai yang terdapat dalam asuransi konvensional sangat bertentangan dengan konsep dalam asuransi syariah. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa Islam mengharamkan sistem asuransi. Sistem asuransi secara filosofi dasarnya merupakan sistem yang baik, yang “menjamin” harta benda atau bahaya tertentu. Dan oleh karenanya perlu adanya penyesuaian, sehingga sistemnya sejalan dengan nafas Islam serta memberikan maslahat yang jauh lebih luas kepada masyarakat.

Artinya, kendatipun secara bentuknya asuransi syariah “meniru” bentuk asuransi konvensional, namun secara konsepsinya, nilainya, sistemnya dan mekanismenya, tetap mengacu pada syariah Islam. Adapun penggambaran mengenai embrio asuransi syariah sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan bukti bahwa secara konsep dasarnya, Islam telah memiliki konsepsi asuransi syariah. Dan oleh karenanya perlu dikembangkan dan didukung oleh seluruh kaum muslimin….

Wallahu A’lam Bis Shawab

Sumber :
http://asuransisyariah.myblogrepublika.com/category/sejarah-asuransi-syariah/
20 April 2009

Sumber Gambar:
http://myadhit.co.cc/wp-content/uploads/2009/06/syariah.jpeg

Menanti Gebrakan Asuransi Syariah

Yusuf Karim

Penduduk mayoritas muslim membuat Indonesia menjadi pangsa besar bisnis syariah salah satunya asuransi syariah. Namun hingga kini sektor itu masih belum berkembang luas. Masyarakat masih berpatokan return investasi tinggi yang konvensional.

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994, yakni PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) yang berdiri pada 24 Februari 1994.

Asuransi syariah pertama itu dimotori Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia.

Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan, yaitu asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan asuransi kerugian syariah PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.

Baru setelah itu, terjadi peningkatan signifikan dalam pangsa pasar asuransi syariah. Sebagai contoh, pendirian bisnis asuransi jiwa syariah dilakukan oleh perusahaan Asuransi Syariah Mubarakah.

Sedangkan strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan, antara lain PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera.

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) periode 2008-2011, Mohammad Shaifie Zein menilai perkembangan asuransi syariah beberapa tahun terakhir menunjukkan catatan cukup baik.

Premi perusahaan asuransi syariah pada 2006 sebesar Rp 497 miliar dengan total aset Rp 917 miliar. Angka itu kemudian meningkat menjadi Rp 1,2 triliun dengan total aset Rp 1,9 triliun pada 2007.

Namun ia mengaku belum mengetahui secara persis perkembangan di akhir 2008. "Di 2008, kira-kira total asetnya diatas Rp 2 triliun. Kalau tahun ini kemungkinan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya," kata dia.

Berkah bisnis syariah ini pula yang mendasari peluncuran Prudential unit link syariah pada 2007 lalu. Hanya selang setahun lebih, produk tersebut hingga akhir 2008 telah memiliki total dana kelola Rp 752 miliar meningkat dari posisi akhir 2007 Rp 496 miliar.

Assistant Vice President Head of Syariah and Product Development Prudential Ade Bungsu menjelaskan bahwa peluncuran Pru-link Syariah berawal dari riset yang dilakukan oleh perusahaannya.

"Dimulai pada riset di 2003, saat itu minat terhadap produk syariah sebenarnya sudah cukup tinggi. Namun karena belum adanya berbagai instrumen investasi, maka tidak ada pengembangan yang berarti," sebutnya.

Menindaklanjuti survei tersebut, Prudential masih menahan diri. Kemudian pada 2006 dilakukan kembali survei, saat itu, produk-produk berbasis syariah sudah mulai bermunculan seperti Jakarta Islamic Index dan produk investasi berbasis syariah lainnya.

Survei menunjukkan karakteristik masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim masih cenderung mengambang. "Hampir 70% masih melihat return yang ditawarkan. Artinya kalau return-nya sama dengan yang ditawarkan oleh konvensional mereka mau masuk syariah, kalau di bawah konvensional mereka tidak mau," imbuhnya.

Sementara masyarakat yang berkarakter syariah loyalis hanya 10%, sisanya yang 20% masyarakat yang justru konvensional loyalis. Yang dimaksud syariah loyalis adalah mereka yang hanya mau menggunakan produk keuangan syariah, demikian juga untuk yang loyalis.

Ade menjelaskan bahwa berdasarkan hasil tersebut, maka Prudential berusaha menciptakan produk asuransi unit link berbasis syariah yang tidak boleh kalah dengan produk serupa yang konvensional. "Mulai dari layanannya, hingga returnnya. Minimal sama dengan yang ada dikonvensional," sebutnya.

Selain itu, dari hasil survei 2003 juga disebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan masyarakat enggan menggunakan produk syariah adalah disebabkan minimnya pengetahuan akibat jarangnya sosialisasi yang dilakukan.

Hal ini yang membuat Prudential melakukan aksi sosialisasi secara gencar. Ini didukung dengan 60 ribu agen sales force yang sebelumnya juga menjual produk-produk konvensional.

Ade menilai bahwa ke depan kendala yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana mengotimalkan potensi pasar syariah. Di lain sisi, penetrasi produk asuransi maupun produk keuangan syariah relatif masih rendah, apalagi produk asuransi syariah.

"Asuransi konvensional hanya 5%, demikian juga untuk produk syariah juga masih minim. Ini yang menjadi perhatian kami," paparnya.

Selain itu, yang juga penting adalah menjaga bagaimana produk-produk syariah bisa benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip syariah. Jangan syariah hanya digunakan sebagai simbol belaka. Ini akan menghancurkan kredibilitas industri asuransi syariah. [E1]

Sumber :
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2009/05/20/108677/menanti-gebrakan-asuransi-syariah/
20 Mei 2009

Pandangan Al-Qur’an Mengenai Asuransi Syariah

Pertanyaan :

Assalamualaikum wr. wb. Pengasuh tanya jawab ekonomi syariah yang terhormat, dalam sebuah seminar pernah dijelaskan oleh seorang pembicara, bahwa adanya lembaga keuangan syariah, seperti asuransi syariah, belum dikenal pada zaman Rasulullah, Saw. Timbul pertanyaan dalam benak saya, kalau begitu dalil hukum sebagai dasar operasional asuransi syariah dalam al-Qur’an ada atau tidak? Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan saya mohon penjelasan mengenai masalah tersebut. Terima kasihh atas tanggapannya.

Wassalamualaikum wr. wb.
Ahmad Husnayain-Jakarta husnayain@eudoramail.com

Jawab :

Wa’alaikumussalam wr. wb.
Sahabat Ahmad yang budiman, memang betul apa yang diungkapkan oleh pembicara di seminar tersebut. Pada dasarnya, umat Islam hanya mewarisi lembaga keuangan dalam bentuk Baitul Mal. Walaupun begitu, dalam merespon perkembangan zaman, ulama kontemporer, khususnya yang konsent dalam pengkajian ekonomi Islam, melakukan ijtihad ekonomi dengan merumuskan lembaga keuangan syariah modern, seperti bank syariah ataupun asuransi syariah.

Berkaitan dengan pertanyaan di atas, pengasuh dapat menjelaskan bahwa landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktek asuransi syariah. Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam. Kebanyakan ulama (jumhur) memakai metodologi konvensional dalam mencari landasan syariah (al-asas al-syar’iyyah) dari suatu pokok masalah (subject matter). Dalam hal ini subject matter-nya adalah lembaga asuransi.

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-ta’min secara nyata dalam al-Qur’an. Walaupun begitu al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (peril) di masa mendatang.

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam praktek asuransi adalah:
QS al-Maidah [5]: 2. Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada berusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).

QS. al-Baqarah [2]: 182. Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Maka dari itu, manusia dituntun oleh Allah Swt. agar dalam setiap langkah kehidupannya selalu dalam bingkai kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat difahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan-nya di masa mendatang dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.

QS al-Baqarah [2]: 261. Allah Swt. menegaskan bahwa orang yang rela menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan melipar gandakan pahalanya. Sebuah anjuran normatif untuk saling berderma dan melakukan kegiatan sosial yang diridhai oleh Allah Swt. Praktek asuransi penuh dengan muatan-muatan nilai sosial, seperi halnya dengan pembayaran premi ke rekening tabarru’ adalah salah satu wujud dari penafkahan harta di jalan Allah Swt. karena pembayaran tersebut diniatkan untuk saling bantu-membantu anggota perkumpulan asuransi jika mengalami musibah (peril) di kemudian hari.

QS. Surat Yusuf [12]: 46-49. Pada ayat ini mengandung semangat untuk melakukan proteksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang akan menimpa di masa datang. Baik peristiwa tersebut dalam bentuk, kecelakaan, kebakaran,terganggunya kesehatan, kecurian, ataupun kematian. Pada peristiwa di atas disebutkan bahwa Nabi Yusuf telah melakukan proteksi (pengamanan) atau perlindungan dari tujuh tahun masa paceklik dengan melakukan saving (penabungan) selama tujuh tahun yang lalu. Pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas untuk diterapkan pada praktek asuransi adalah dengan melakukan pembayaran premi asuransi berarti kita secara tidak langsung telah ikut serta mengamalkan prilaku proteksi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf. Karena prinsip dasar dari bisnis asuransi adalah proteksi (perlindungan) terhadap kejadian yang membawa kerugian ekonomi.

Sahabat Ahmad, demikian penjelasan yang dapat pengasuh sampaikan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang ekonomi syariah. Wallahu ‘alam bis showab. [hsn]

Sumber :
http://www.pkes.org/lks/37-asuransi-syariah-/85-pandangan-al-quran-mengenai-asuransi-syariah.html
8 Desember 2009

Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia

Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 49 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 40 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah.

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia.

Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.

Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.

Stretegi pengembangan bisnis asuransi syariah melalui pendirian perusahaan dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerak pada bisnis asuransi jiwa syariah. Sedangkan strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan asuransi, antara lain PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera.

Bahkan, sejumlah pemain asuransi besar dunia pun turut tertarik masuk dalam bisnis asuransi syariah di Indonesia. Mereka menilai Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merupakan potensi pengembangan bisnis cukup besar yang tidak dapat diabaikan. Di antara perusahaan asuransi global yang masuk dalam bisnis asuransi syariah Indonesia adalah PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan PT Prudential Life Assurance.

Sumber :
Republika, 17 Maret 2008, dalam :
http://www.prudent.web.id/asuransi-prudential/berita/sejarah-asuransi-syariah-di-indonesia.html

Asuransi Syariah Bertumbuh

Industri asuransi pada 2010 diperkirakan akan tumbuh signifikan, menyusul makin diminatinya asuransi syariah. Hal itu juga didukung oleh Keputusan baru dari Dirjen Pajak yang menyangkut yang lebih memberi keleluasaan bagi agen (tenaga penjual).

"Ini adalah suatu yang nyata bahwa asuransi syariah makin diminati orang. Sekarang proporsinya sudah 50:50 dibandingkan dengan asuransi konvensional. Nasabah baru di asuransi syariah bukan hanya orang muslim tapi juga banyak non muslim," ungkap Dirut AXA Financial Indonesia, Ardin Lauhatta di Hotel Santikan, Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, asuransi syariah makin menemukan momentum pertumbuhannya setelah terjadinya krisis keuangan global. "Sistem yang lebih transparan dan adil membuat asuransi syariah makin diminati masyarakat," kata Ardin.

Dikatakan, dengan momentum tersebut maka asuransi syariah memiliki pertumbuhan yang amat pesat dalam setahun terakhir. "Di perusahaan kami, porsi perolehan premi baru antara asuransi konvensional dan asuransi syariah sudah 50:50. Padahal, produk asuransi syariah belum lama diluncurkan," ujarnya.

Dia menduga pertumbuhan itu juga terjadi di perusahaan lainnya di mana produk asuransi syariah mendapatkan banyak nasabah baru. Apalagi, sekarang ini pemahaman masyarakat terhadap asuransi sudah makin luas dan menganggap sebagai suatu kebutuhan yang tidak bisa dielakkan.

"Seseorang yang mempunyai gaji atau penghasilan pas-pasan, maka akan sangat berisiko jika tidak mempunyai asuransi. Karena asuransi akan mempertahankan kelangsungan pendidikan anak ataupun kesehatan keluarga," tambah Ardin.

Tentang Keputusan Dirjen Pajak No. PER-57/PJ/2009 di mana pajak yang berlaku bagi agen itu dari 50% pendapatan, dan 50% lagi dianggap biaya, menurut dia, ibarat insentif yang akan mendorong tumbuhnya agen-agen asuransi baru.

"Semakin banyak jumlah agen, kapasitas pendistribusian asuransi juga bakal naik. Agen asuransi saat ini baru sekitar 360.000 orang," ujarnya. Dia berharap, pertumbuhan premi yang pesat diharapkan bisa paralel dengan pertumbuhan pemegang polis.

Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan pesat premi asuransi jiwa cenderung tidak diikuti pertumbuhan pemegang polis. Data per akhir 2008 menunjukkan, pendapatan premi Rp 46,7 triliun, enam kali lipat dibandingkan pendapatan premi pada 2000, sekitar Rp 7,3 triliun.

Namun, pada periode yang sama, jumlah pemegang polis hanya naik 1,4 kali dari 24,3 juta tahun 2000 menjadi 29,5 juta polis. Bahkan, sejak tahun 2003, pertumbuhan jumlah pemegang polis amat lambat.

Dalam dekade terakhir, penetrasi asuransi jiwa atau rasio jumlah polis terhadap penduduk Indonesia hanya naik dari 12 persen ke 13 persen. Adapun di negara lain, seperti Malaysia, naik dari 30 persen menjadi 41 persen dan Thailand naik dari 3 persen menjadi 7 persen. (A-78/A-26).***

Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=111788
22 November 2009

Bisnis yang Kian Menarik - Asuransi Syariah

Febry Mahimza, Windarto, dan Eko Zulham


PASAR asuransi syariah memang masih mungil. Menurut catatan Muhaimin Iqbal, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), total aset asuransi syariah pada semester I kemarin hanya Rp 967,458 miliar. Sangat njomplang jika dibanding asuransi jiwa konvensional yang telah mencapai Rp 18,271 triliun. Karena pasarnya yang belum berkembang itulah yang membuat perusahaan asuransi berskala global tergiur untuk terjun ke sini. Setelah PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia meluncurkan produk syariahnya pada Maret silam, kini giliran PT Prudential Life Indonesia mengayunkan langkah serupa.

Tak tanggung-tanggung, Prudential langsung menyisihkan duitnya sebesar Rp 37 miliar sebagai modal awal. Sebagai langkah awal, ada tiga produk asuransi berbasis unit link yang ditawarkan, yakni Prulink Syariah Rupiah Equity Fund, Prulink Syariah Rupiah Managed Fund, dan Prulink Syariah Fixed Income Fund. ”Modal sebesar Rp 37 miliar itu sebagai bukti keseriusan kami menggarap asuransi syariah,” kata Kevin Holmgren, Presdir PT Prudential Life Indonesia.

Seorang agen pemasar Prudential bertutur, hanya dalam tempo sebulan, sudah ada ratusan nasabah yang berhasil dijaring. ”Tak hanya orang Islam saja yang tertarik, orang beragama lain juga banyak yang membeli produk ini,” ujarnya.

Saat dikonfirmasi, Direktur Keuangan Prudential Willian Kwan, enggan mengomentari hal tersebut. Ia mengaku, setelah dipasarkan selama dua bulan, saat ini sebagian besar nasabah Prudential syariah lebih memilih Prulink Syariah Rupiah Managed Fund, yang merupakan kombinasi antara equity dan fix income. ”Sekitar 70% nasabah syariah kami memilih produk tersebut,” tuturnya.

Tak mau kalah, PT BNI Life Insurance Divisi Syariah juga bersiap-siap meluncurkan produk barunya, awal Desember ini. Ada tiga macam unit link yang ditawarkan. Pertama, unit link syariah Optima yang memberikan return hingga lebih dari 15%, unit link syariah seimbang dengan return 11%-12%, dan unit link stabil yang memberikan return antara 9%-10% per tahun. ”Tiga produk itu dipasarkan melalui dua jalur, yakni lewat agen pemasar dengan label B-Life Investlink Syariah dan co-branding dengan Bank BNI (B-Life Amanah Investa),” tutur Ario Soesatio Adji, Kepala Divisi Syariah PT BNI Life Insurance.

Kendati pemasarannya baru akan digeber awal tahun depan, Ario optimistis mampu menjual 500 ribu polis dengan premi hingga Rp 10 miliar. Soalnya, pemasaran produk-produk ini didukung langsung oleh Bank BNI serta 500 agen yang tersebar di 15 kantor cabangnya. ”Saya yakin target itu akan tercapai akhir 2008. Saat ini dana kelolaan kami sudah mencapai Rp 10 miliar atau tumbuh lebih dari 200%,” paparnya.
Menurut Muhaimin Iqbal, banyak investor yang tertarik terjun ke asuransi syariah karena pertumbuhan bisnisnya cukup pesat. Pada semester I kemarin saja, pertumbuhan bisnis asuransi syariah mencapai 83,06% jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Itulah yang mendorong asuransi asing pun ikut masuk ke segmen ini. Perkara total asetnya yang masih tertinggal jauh dari konvensional, kata Muhaimin, lantaran modal minimal yang dipatok pemerintah terlalu kecil, hanya Rp 2 miliar. ”Agar bisa berkembang, mestinya modal minimal asuransi syariah ditetapkan Rp 20 miliar,” ujarnya.

Sudah begitu, produk-produk yang dijajakan perusahaan-perusahaan itu juga nyaris seragam. ”Sebagian besar masih mirip produk konvensional. Yang diubah hanya proses akadnya saja,” lanjut Muhaimin. Akibatnya, yang terjadi bukanlah membesarkan pasar, melainkan saling berebut pasar yang sudah ada. 

Sumber :
http://www.majalahtrust.com/ekonomi/keuangan/1580.php
18 Desember 2009

Lebih Adil dengan Asuransi Syariah

Tak kenal maka tak sayang. Setidaknya begitulah potret yang bisa diambil dari masih kurangnya minat masyarakat mengikuti asuransi syariah. Ini tak lain karena kurangnya pengetahuan tentang lembaga keuangan tersebut. Masyarakat masih minim dengan pengetahuan asuransi. Apalagi ketika asuransi telah disandingkan dengan nama syariah, tentu lebih banyak istilah yang perlu diketahui. Tak hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, sebenarnya berasuransi juga sangat penting dijalankan oleh pebisnis dalam rangka menanggulagi risiko kerugian pada aset-aset usahanya.

Sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), asuransi syariah diartikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.

Jika seseorang menjadi peserta atau asuransi syariah, dalam istilah syariah disebut sebagail muamman, sedangkan perusahaan asuransi disebut dengan muammin. Selayaknya memulai sebuah asuransi, nasabah mengadakan kontrak dengan perusahaan asuransi. Nah, di sini lah perbedaannya dimulai.

Pada dasarnya asuransi syariah dan asuransi konvensional mempunyai tujuan sama, yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Namun beberapa perbedaan mendasar dalam kontrak awal menjadikan asuransi syariah dinilai lebih fair dibandingkan asuransi konvensional.

Menurut Ketua Badan Pelaksana Harian DSN Ma’ruf Amin, berbeda dengan asuransi konvensional yang menerapkan kontrak jual beli atau biasa disebut tabaduli, asuransi syariah menggunakan kontrak takafuli atau tolong menolong antara nasabah satu dengan nasabah yang lain ketika dalam kesulitan. “Jadi di asuransi syariah ada risk sharing,” ujar Ma’ruf. Sedangkan dengan akad tabaduli, terjadi jual beli atas risiko yang dipertanggungkan antara nasabah dengan perusahaan asuransi. Dengan kata lain terjadi transfer risiko (risk transferring) dari nasabah ke perusahaan asuransi.

Pengelolaan dana melalui asuransi syariah diyakini dapat terhindar dari unsur yang diharamkan Islam yaitu riba, gharar (ketidakjelasan dana) dan maisir (judi). Untuk itu perusahaan asuransi syariah memegang amanah dalam menginvestasikan dana nasabah sesuai prinsip syariah. Sesuai akadnya, mudharabah, yaitu akad kerja sama dimana peserta menyediakan 100% modal, dan dikelola oleh perusahaan asuransi, dengan menentukan kontrak bagi hasil.

Jika nasabah asuransi syariah mengajukan klaim, dana klaim berasal dari rekening tabarru’ (kebajikan) seluruh peserta. Berbeda dengan klaim asuransi konvensional yang berasal dari perusahaan asuransinya.

Satu lagi kelebihan asuransi syariah, yaitu tidak mengenal istilah dana hangus layaknya asuransi konvensional. Peserta asuransi syariah bisa mendapatkan uangnya kembali meskipun belum datang jatuh tempo. Karena konsepnya adalah wadiah (titipan), dana dikembalikan dari rekening peserta yang telah dipisahkan dari rekening tabarru’. Lagi pula biaya operasional asuransi syariah. Hal tersebut wajar, mengingat pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis asuransi, terbatas pada kisaran 30% dari premi, sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama dengan memiliki nilai 70% dari premi. Bandingkan dengan pembebanan biaya operasional asuransi konvensional yang ditanggung seluruhnya oleh pemegang polis, sehingga pembentukan nilai tunai menjadi lambat di tahun-tahun pertama menjadi bernilai nol.

Kondisi tersebut juga memungkinkan peserta asuransi umum syariah menerima kembali sebagian premi jika ternyata hingga saat jatuh tempo belum ada klaim. Tentunya juga dengan perhitungan bagi hasil yang telah disetujui di awal kontrak, yang nilainya bergantung pada hasil investasi pada tahun tersebut. (SH)

Sumber :
http://www.asuransisyariah.net/2008/08/lebih-adil-dengan-asuransi-syariah.html

Pedoman Umum Asuransi Syariah

FATWA
DEWAN SYARI'AH NASIONAL

NO: 21/DSN-MUI/X/2001
Tentang
PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum
1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua: Akad dalam Asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah.

Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Oktober 2001

Sumber :
http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php?id=28&pg=2

Dorong Perkembangan Asuransi Syariah dengan Sosialisasi Simultan

By Mohammad Shaifie Zein (Ketua Umum AASI)

Dalam beberapa tahun terakhir industri keuangan syariah di Indonesia tumbuh pesat, termasuk di antaranya asuransi syariah. Perkembangannya yang cukup signifikan membuat sejumlah perusahaan asuransi konvensional membentuk unit syariah. Kini terdapat 38 perusahaan yang telah memiliki unit syariah, di mana tiga perusahaan di antaranya adalah perusahaan murni syariah. Di tahun ini industri asuransi syariah pun akan semakin ramai. Pasalnya diperkirakan tiga perusahaan asuransi akan membuka unit syariah di 2009.

Bagi Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) periode 2008-2011, Mohammad Shaifie Zein perkembangan asuransi syariah dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan catatan cukup baik. ''Melihat peningkatan premi asuransi syariah lebih dari 100 persen di 2007 dibanding tahun sebelumnya adalah indikasi masyarakat sudah mulai mengetahui tentang asuransi syariah,'' kata Shaifie.

Tercatat, premi di 2007 sebesar Rp 1,2 triliun dengan total asset Rp 1,9 triliun, sementara di 2006 tercatat premi sebesar Rp 497 miliar dengan asset Rp 917 miliar. Walau tahun ini diperkirakan pertumbuhan tak seperti tahun sebelumnya karena krisis ekonomi, namun diprediksi asset dapat mencapai sekitar Rp 2 triliun.

Meski demikian sosialisasi secara gencar terus dilakukan. Untuk mendorong asuransi syariah di Indonesia AASI menyiapkan sejumlah program. Di antaranya adalah melakukan seminar asuransi syariah bersama dengan Islamic Banking and Finance Institute Malaysia untuk lebih memperkenalkan industri asuransi syariah kepada masyarakat. ''Rencananya seminar akan dilakukan sebelum bulan Agustus,'' kata Shaifie.

Menurut pria kelahiran Kalianget, 22 April 1969 ini sosialisasi perlu dilakukan secara kontinyu. Pasalnya, terdapat masyarakat yang hanya mendengar tentang asuransi syariah dan belum banyak mengetahui mengenai hal itu. ''Hal itu berarti asuransi syariah belum mengomunikasikan masalah asuransi syariah secara baik ke masyarakat, apa bedanya dengan asuransi konvensional,'' kata Shaifie yang mendapatkan diploma asuransi di Caledonian University, Glasgow. Selain bekerja sama dengan IBFIM, AASI juga akan melakukan sosialisasi dengan Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia (FAFI).

Dalam Festival Ekonomi Syariah beberapa waktu lalu, lanjut Shaifie, cukup membantu dalam sosialisasi asuransi syariah. ''Kami sangat berterima kasih atas adanya FES karena setidaknya ada improvement pemahaman mengenai asuransi syariah,'' ujar Shaifie. Dengan sosialisasi yang terus dilakukan secara simultan, pria yang mendapat gelar profesi Chartered Insurer dari Chartered of Insurance Institute ini berharap akan lebih banyak masyarakat Indonesia yang memahami akan asuransi syariah.

Sementara, untuk meningkatkan kualitas industri asuransi syariah Indonesia, SDM menjadi perhatian khusus AASI. Di tahun ini asosiasi bekerja sama dengan Islamic Insurance Society dan International Center for Development in Islamic Finance (ICDIF) akan melakukan sertifikasi agen. Bagi Shaifie yang mengawali kariernya di dunia asuransi sejak 1995 di Asuransi Binagriya Upakara, sertifikasi perlu dilakukan agar agen benar-benar memahami produk asuransi syariah.

Selain itu Sekretaris Departemen Pengembangan Usaha Non-Bank Masyarakat Ekonomi Syariah ini juga menargetkan standarisasi polis bisa selesai di April tahun ini. ''Kami juga sudah minta waktu dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional agar sengketa polis bisa diselesaikan di sana,'' kata Shaifie. Sementara mengenai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) asuransi syariah diharapkan dapat selesai semester pertama tahun ini. gie/taq

Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/38503/Dorong_Perkembangan_Asuransi_Syariah_dengan_Sosialisasi_Simultan
19 Maret 2009

Apa itu Asuransi Syariah?dan apa perbedaanya dengan Asuransi Konvensional?

Asuransi syariah merupakan asuransi yang berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Di dalamnya terdapat usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ (dana kebajikan) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu dengan diawali sebuah akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

A. PRINSIP-PRINSIP ASURANSI SYARIAH


Haramnya praktik asuransi dalam Islam sudah banyak digaungkan oleh para ulama-ulama di Indonesia maupun manca negara. Hal ini dikarenakan adanya :

1. Gharar (Terlihat dari unsur ketidakpastian tentang sumber dana yang digunakan untuk menutupi klaim dan hak pemegang polis).

2. Maysir (Yaitu unsur judi yang gambarkan dengan kemungkinan adanya pihak yang dirugikan di atas keuntungan pihak yang lain).

3. Riba (Karena menggunakan sistem bunga).


Asuransi Syariah memiliki prinsip-prinsip antara lain :

1. Saling Membantu dan Bekerjasama

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS. Al-Maidah:2)

“Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong sesamanya.” (HR. Abu Daud)

“Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud)


2. Saling melindungi dari berbagai macam kesusahan dan kesulitan

Seperti membiarkan uang menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…’ (QS. 4 :29)


3. Saling bertanggung jawab


4. Menghindari unsur gharar, maysir dan riba


Islam menekankan aspek keadilan, suka sama suka dan kebersamaan menghadapi resiko dalam setiap usaha dan investasi yang dirintis. Aspek inilah yang menjadi tawaran konsep untuk menggantikan gharar, maysir dan riba yang selama ini terjadi di lembaga konvensional.

B. TATA CARA DAN OPERASIONAL ASURANSI SYARIAH


1. Akad (Akad antara perusahaan dengan peserta menggunakan akad mudharabah dengan semangat saling menanggung (takaful), dan bukan berdasarkan akad pertukaran (tadabbuli)).

Unsur dalam konsep al-mudharabah ini ialah :

a. Perusahaan menginvestasikan dan mengusahakan ke dalam proyek dalam bentuk : musyarakah, murabahah dan wadi’ah.

b. Menanggung resiko usaha secara bersama-sama dengan prinsip bagi hasil yang telah disepakati.

c. Pembagian hasil atas keuntungan dari investasi dilakukan setelah penyelesaian klaim manfaat takaful dari peserta yang mengalami musibah.


2. Pengelolaan dan Investasinya Tidak Bertentangan dengan Syariat Islam

a. Gharar (tentang hak pemegang polis (peserta) dan sumber dana yang digunakan untuk menutup klaim dari peserta).


b. Maysir (karena dimungkinkan ada pihak yang diuntungkan di atas kerugian orang lain).

c. Riba (diperolehnya pendapatan dari mem-bunga-kan dana investasi yang diberikan).

C. JENIS DAN PRODUK ASURANSI SYARIAH

Asuransi syariah terdiri dari 3 jenis, yaitu :

1. Takaful Individu

Produk tabungan dari takaful individu antara lain :

a. Takaful Dana Investasi

Merupakan suatu jaminan dana dalam mata uang rupiah maupun dollar Amerika Serikat bagi ahli warisnya jika nasabah meninggal dunia lebih awal ataupun sebagai bekal hari tuanya.


b. Takaful Dana Haji

Merupakan suatu perlindungan dana untuk perorangan yang menginginkan dan merencanakan pengumpulan dana dalam mata uang rupiah maupun dollar Amerika Serikat.


c. Takaful Dana Siswa

Merupakan suatu jaminan dana pendidikan sampai sarjana dalam mata uang rupiah maupun dollar Amerika Serikat.


d. Takaful Dana Jabatan

Merupakan suatu jaminan santunan dalam mata uang rupiah maupun dollar Amerika Serikat bagi ahli warisnya jika nasabah meninggal dunia lebih awal ataupun tidak bekerja lagi dalam masa perjanjian.


Produk tabungan dari takaful individu antara lain :

a. Takaful al-Khairat Individu

Merupakan suatu jaminan santunan bagi ahli warisnya jika nasabah meninggal dunia dalam masa perjanjian.


b. Takaful Kecelakaan Diri Individu

Merupakan suatu jaminan santunan bagi ahli warisnya jika nasabah meninggal dunia akibat kecelakaan dalam masa perjanjian.


c. Takaful Kesehatan Individu

Merupakan suatu jaminan dana santunan rawat inap, operasi bagi perorangan jika nasabah sakit dalam masa perjanjian.




2. Takaful Group

a. Tabungan al-Khairat dan Tabungan Haji

Merupakan suatu program bagi karyawan yang ingin menunaikan ibadah haji yang pendanaannya melalui iuran bersama dengan keberangkatan bergilir.


b. Tabungan Kecelakaan Siswa

Merupakan suatu jaminan bagi siswa, mahasiswa atau pesertanya dari resiko kecelakaan yang berakibat cacat total tetap maupun sebagian atau meninggal dunia.


c. Takaful Wisata dan Perjalanan

Merupakan suatu jaminan bagi peserta biro perjalanan dan wisata / travel ke dalam maupun luar negeri dari resiko cacat total tetap maupun sebagian atau meninggal dunia.


d. Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan

Merupakan suatu jaminan santunan karyawan pada perusahan, organisasi atau perkumpulan lainnya.


e. Takaful Majlis Ta’lim

Merupakan suatu jaminan penyediaan santunan bagi ahli waris jama’ah, jika nasabah meninggal dunia dalam masa perjanjian.


f. Takaful Pembiayaan

Merupakan suatu jaminan pelunasan hutang, jika nasabah meninggal dunia dalam masa perjanjian.


3. Takaful Umum

a. Takaful Kebakaran

Merupakan suatu perlindungan terhadap kerugian maupun kerusakan pada kebakaran dari sumber percikan api, sambaran petir, ledakan, dan kejatuhan pesawat, maupun bencana alam.


b. Takaful Kendaraan Bermotor

Merupakan suatu perlindungan sebagian atau seluruh kendaraan terhadap kerugian maupun kerusakan akibat dari kecelakaan, pencurian serta tanggung jawab hukum pihak ketiga.

Untuk kerugian akibat huru-hara, pemogokan umum, serta kecelakaan diri pengemudi dan penumpang akan dikenakan tambahan premi.


c. Takaful Rekayasa

Merupakan suatu perlindungan terhadap kerugian maupun kerusakan pada pekerjaan pembangunan. Perlindungan ini meliputi alat-alat, konstruksi mesin / baja serta tanggung jawab pihak ketiga.


d. Takaful Pengangkutan

Merupakan suatu perlindungan terhadap kerugian maupun kerusakan barang, pengiriman uang pada pengangkutan baik melalui darat, laut dan udara.


e. Takaful Rangka Kapal

Merupakan suatu perlindungan terhadap kerugian maupun kerusakan pada mesin maupun rangka kapal sebagai akibat dari kecelakaan dan musibah lainnya.

Untuk kerugian uang tambang, perang dan tanggung gugat dari pihak ketiga akan dikenakan tambahan premi.


f. Asuransi Takaful Aneka

Merupakan suatu perlindungan terhadap kerugian maupun kerusakan sebagai akibat dari resiko yang tidak terduga, tidak dapat diperhitungkan pada polis-polis yang ada.

D. PERBEDAAN ANTARA ASURANSI SYARIAH DENGAN ASURANSI KONVENSIAL

Asuransi syariah sangat berbeda dengan asuransi konvensional, karena pada asuransi konvensional dilakukan praktik-praktik yang diharamkan dalam Islam.

Asuransi syariah (takaful), di dalamnya dikenal prinsip saling memikul resiko diantara sesama orang, sehingga antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Semua ini dilakukan atas dasar tolong-menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma (tabarru’) yang disepakati bersama nilainya untuk menanggung resiko tersebut. Sesuai dengan firman Allah SWT ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolonglah kamu dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS Al-Maidah [5] : 2)

Ada tujuh prinsip yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, yaitu :

1. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan produk yang ada dalam pengelolaan investasi dana. DPS ditemukan pada asuransi syariah tapi tidak pada asuransi konvensional.

2. Akad yang akan dilaksanakan. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syariah berdasarkan prinsip tolong menolong (takaful), sedangkan pada asuransi konvensional berdasarkan akad jual beli (tadabbuli).

3. Prinsip perhitungan investasi dana. Pada asuransi syariah, dasar perhitungan investasi dana berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah). Pada asuransi konvensional dasar perhitungan investasi dana berdasarkan riba.

4. Kepemilikan dana. Pada asuransi syariah dana investasi yang terkumpul dari peserta (premi) merupakan milik peserta seutuhnya sementara perusahaan asuransi hanya merupakan pemegang amanah atau sebagai pengelola dana (mudharib). Pada asuransi konvensional, dana investasi yang terkumpul dari peserta (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasi penggunaan dana.

5. Pembayaran klaim.
Pembayaran klaim yang dilakukan oleh asuransi syariah diambil dari rekening tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta. Sejak awal menyimpan dana investasinya, peserta sudah diminta keikhlasannya bahwa akan ada penyisihan dana yang akan digunakan untuk menolong peserta lain jika terkena musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana milik perusahaan.

6. Keuntungan yang diperoleh perusahaan asuransi.
Pada asuransi syariah, keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan dari investasi dana peserta akan dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai dengan prinsip bagi hasil, dengan proporsi yang telah disepakati bersama di awal. Sedangkan pada asuransi konvensional keuntungan yang diperoleh perusahaan menjadi milik perusahaan seutuhnya.

7. Kemungkinan adanya dana yang hangus.
Pada asuransi syariah tidak mengenal adanya dana yang hangus meskipun peserta asuransi menyatakan akan mengundurkan diri karena sesuatu dan lain hal. Dana yang telah disetorkan tetap dapat diambil kecuali dana yang sejak awal telah diikhlaskan masuk ke dalam rekening tabarru’ (dana kebajikan). Sedangkan pada asuransi konvensional dikenal adanya dana yang hangus jika peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo (reserving period).

Sumber :
http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2008/10/24/apa-itu-asuransi-syariahdan-apa-perbedaanya-dengan-asuransi-konvensional/
24 Oktober 2008

Beda Asuransi Syariah dan Konvensional

Sejak awal saya sangat tertarik dengan konsep Asuransi Syariah. Apalagi saat ini hampir semua perusahaan asuransi memiliki produk syariah. Nah, kalau sudah begini, gak ada lagi deh alasan untuk memilih produk konvensional. Yuk mari coba membandingkan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

Semoga artikel ini dapat menjadi pertimbangan anda dalam menentukan untuk bergabung dengan asuransi syariah atau asuransi konvensional.

1. Konsep
Syariah (S) : Sekumpulan orang yg saling membantu,saling menjamin dan bekerja sama dengan cara masing – masing mengeluarkan dana terbaru.
Konvensional (K) : Perjanjian dua pihak atau lebih: pihak penanggung meningkatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung.

2. Misi
S : Misi aqidah, ibadah (ta’awun), misi ekonomi (iqtishodl) dan misi pemberdayaan umat(sosial)
K : Misi ekonomi dan sosial

3. Asal Usul
S : System Al-Aqilah, suatu kebiasaan suku arab sebelum Islam datang yang kemudian disahkan oleh Rasulullah sebagai hukum islam
K : Dimulai dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi.

4. Sumber
S : Bersumber dari firman Allah, Al-Hadist dan Ijma Ulama.
K : Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami dan berbagai contoh sebelumnya.

5. Maisir, Gharar dan Riba
S : Terbebas dari praktik dan unsur Maisir, Gharar, Riba
K : Tidak sesuai dengan syariah Islam karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan syariah

Akad
S : Akad tabarru dan akad tijarat (mudharaba,wakalh, syrikah, dll)
K : Akad jual beli (akad mu’awadhah) dan akad gharar

Jaminan atau resiko
S : Sharing of risk, terjadinya proses saling menanggung antara satu peserta satu dan peserta lainnya.(ta’awun)
K : Transfe risk; terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung.

Pengelolaan Dana
S : Pada produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru (derma) dari dana peserta, sehingga tidak mengenal adanya dana hangus untuk terminsurance (life) dan general insurance semua bersifat tabarru.
K : Tidak ada pemisah dana yang berakibat pada terjadinya dana hangus (produk saving life)

Investasi
S : Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan berbagai tempat investasi yang terlarang
K : Debas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundangan-undangan dan tidak terbatas pada halal dan haramnya investasi yang di gunakan

Kepemilikan Dana
S : Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan milik peserta (shahibul maal), sedangkan perusahaan hanya pemegang amanah (mudharib) dan mengelola dana
K : Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan kemanapun dana tersebut

Nah, sekarang anda sudah tahu apa bedanya antara asuransi syariah dan asuransi konvensional. Insya Allah di lain waktu akan saya bahas hal-hal lain yang lebih menarik lagi.

Sumber :
http://joinasuransi.com/beda-asuransi-syariah-dan-konvensional.html#more-8
14 Maret 2009

Asuransi Dan Hukumnya

Oleh
Ustadz Muslim Al-Atsari


MAKNA ASURANSI
Yang dimaksud dengan asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin, atau memberi ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau terjadinya bahaya, dan dijelaskan dengan perjanjian. Pemberian itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan nasabah kepada perusahaan asuransi.

Dari penjelasan ini, dapat diketahui secara jelas bahwa dalam perjanjian asuransi itu terdapat tiga unsur yang melingkupinya, yaitu: (1) bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan perusahaan asuransi, (2) bahaya atau musibah yang terjadi, (3) angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.

SEJARAH ASURANSI
Asuransi yang pertama kali muncul ialah dalam bentuk asuransi perjalanan laut, yaitu pada abad 14 Masehi. Namun sebenarnya, asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi. Praktek asuransi waktu itu, seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar. Jika kapal itu hancur, maka pinjaman tersebut hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.

Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi. Di dalamnya merupakan perjanjian yang bersifat riba, mengandung unsur perjudian dan bahaya. Dan hingga pada saat ini, asuransi tetap memiliki unsur-unsur sebagaimana saat muncul pertama kali.

Kemudian, pada abad 17 Masehi muncul asuransi di daratan, yaitu di kalangan bangsa Inggris. Pertama kali, muncul dalam bentuk asuransi kebakaran. Kemunculannya setelah terjadi kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Kerugian yang diderita pada waktu itu, tidak kurang dari 13 ribu rumah, dan sekitar 100 gereja terbakar. Dari sini, asuransi kebakaran kemudian menyebar ke banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat, serta semakin bertambah jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.

JENIS-JENIS ASURANSI
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi dapat dikategorikan dalam dua jenis.
Yaitu at-Ta'mîn at-Tijâri dan at-Ta'mîn at-Ta'âwuni.

Asuransi at-Ta'mîn at-Tijâri. Yaitu asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini, otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah, atau sesuai dengan yang disepakati.

Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun dan ini merupakan keuntungan bagi perusahaan asuransi.

Inilah asuransi yang hendak dibicarakan di sini. Dan ini terlarang, karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu pihak.

Asuransi at-Ta'mîn at-Ta'âwuni, dan disebut juga dengan at-Ta'mîn at-Tabâduli, atau at-Ta'mîn al-Islami. Yaitu asuransi gotong-royong, atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Asuransi ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanya bersifat tolong-menolong dalam menanggung kesusahan.

Contohnya, sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang. Dengan uang ini, mereka membantu orang yang terkena musibah.

Perusahaan asuransi Islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.

Selain dua jenis asuransi di atas, masih ada jenis asuransi lainnya, yaitu at-Ta'mîn al-Ijtima'i (jaminan keamanan sosial).

Asuransi at-Ta'mîn al-Ijtima'i ini, juga tidak mencari keuntungan dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir terjadinya musibah tertentu. Asuransi at-Ta'mîn al-Ijtima'i ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara atau suatu pemerintahan untuk para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun (di Indonesia dikenal dengan istilah Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau Taspen, Red.).

Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dalam prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, maka uang (pemotongan gaji) tersebut diberikan kembali dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Dan jenis ini, sebenarnya tidak termasuk dalam kategori asuransi. Namun hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.

MACAM-MACAM ASURANSI TIJÂRI
At-Ta'mîn at-Tijâri, sebagai asuransi yang bertujuan mencari keuntungan ini sangat banyak macamnya. Antara lain sebagaimana berikut.

Pertama. Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini berkenaan dengan harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga diberlakukan untuk pertanggungan terhadap nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.

Kedua. Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, berkaitan dengan kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Asuransi ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan (jasmani).

Asuransi jiwa, yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ketiga, ketika nasabah (atau orang ketiga) itu meninggal dunia, ataupun pemberiaan dalam keadaan nasabah (atau orang ketiga) itu masih hidup sampai umur tertentu. Pemberian perusahaan asuransi ini sebagai ganti dari angsuran-angsuran yang telah disetorkan oleh nasabah terdahulu.

Asuransi jiwa ini dapat digolongkan dalam beberapa macam.

1. Asuransi Kematian.
Yaitu pemberian sejumlah uang pada saat kematian nasabah, dan meliputi tiga macam.

a. Asuransi Selama Hidup.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah).
Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu meninggal sebelum masa 20 tahun, maka angsurannya (setorannya) gugur, dan orang yang diasuransikan tersebut berhak mendapatkan sejumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah masih hidup melewati masa 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidak diberikan kepada orang yang diasuransikan, kecuali setelah kematian nasabah.

b. Asuransi Berjangka Waktu Tertentu.
Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika nasabah meninggal dalam jangka waktu (masa) asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jangka waktu asuransi, maka angsuran yang telah ia bayarkan hilang, dan perusahaan asuransi mengambil uang tersebut dengan tanpa imbalan apapun. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.

c. Asuransi Selama Hidupnya Orang Yang Diasuransikan.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan, jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika orang yang diasuransikan meninggal sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

2. Asuransi Untuk Keadaan Tetap Hidup.
Yaitu tetap hidupnya nasabah. Asuransi ini kebalikan dari bentuk (1.a). Dalam asuransi ini, nasabah membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan akan membayarkan sejumlah uang tertentu juga –yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah meninggal sebelum waktu yang ditetapkan dalam perjanjian asuransi, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Begitu pula ahli waris nasabah tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

3. Asuransi Yang Memiliki Unsur Kombinasi.
Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah meninggal pada selang waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika ia masih hidup setelah selesainya waktu asuransi. Oleh karena itu, angsuran asuransi jenis ini lebih besar (nominalnya) dari dua jenis asuransi yang disebutkan sebelumnya (1 dan 2).

Adapun asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan, yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang (klaim) kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya selama masa asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu meninggal.

Termasuk dalam jenis ini, yaitu asuransi kesehatan. Dan terkadang asuransi kesehatan mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tertentu, atau tindakan operasi penyakit, atau sebagian penyakit. Dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang diasuransikan, dan yang tercatat itulah yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan.

HUKUM ASURANSI TIJÂRI
Asuransi tijâri (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya, hukumnya haram, karena beberapa sebab:

1. Perjanjian Asuransi Tijâri Merupakan Perjanjian Penggantian Harta Yang Mengandung Ketidakpastian, Dan Mengandung Bahaya Yang Sangat Besar.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar" [HR. Muslim, no. 1513]

Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan ''aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan''. Atau ''aku menjual tanah ini mulai sini, sampai jarak kerikil yang aku lemparkan''. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.

Sedangkan jual beli gharar, yaitu jual beli yang mengandung ketidakjelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim, karya Imam an-Nawâwi).

2. Asuransi Tijâri Termasuk Dalam Kategori Jenis Perjudian.
Karena pada asuransi itu terdapat bahaya kerugian dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan, atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi, terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan (musibah), sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan sama sekali, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan dari angsuran-angsuran nasabah asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian, asuransi termasuk dalam larangan perjudian, sebagaimana disebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" [Al-Maidah/5: 90]

3. Perjanjian Asuransi Tijâri Mengandung Riba.
Karena keuntungan yang didapatkan perusahaan asuransi itu tanpa imbalan. Sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan riba di dalam Islam sangat keras larangannya.
Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" [al-Baqarah/2:278-279]

4. Asuransi Tijâri Merupakan Perlombaan Yang Hukumnya Haram, Karena Mengandung Ketidakjelasan, Bahaya Kerugian, Dan Perjudian.
Demikianlah, bahwa syariat Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta, kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam, untuk meninggikan Islam dengan hujjah, atau dengan senjata. Dan Nabi n telah membatasi dengan tiga macam perlombaan, yang pemenangnya dibolehkan mengambil upah (hadiah).

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

"Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah" [HR Abu Dawud, no. 2574; at-Tirmidzi, no. 1700]

Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan, kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya –dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. [Lihat Tuhfatul-Ahawadzi].

5. Perjanjian Asuransi Tijâri, Mengandung Unsur Mengambil Harta Orang Lain Dengan Tanpa Imbalan.
Perbuatan seperti ini merupakan kebatilan. Sebab Allah Ta'ala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu". [an-Nisa'/4: 29]

6. Perjanjian Asuransi Tijâri Mewajibkan Sesuatu Yang Tidak Diwajibkan Oleh Syariat.
Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk memberi jaminan pertangungan atas bahaya yang menimpa nasabah dengan imbalan setoran angsuran nasabah.

Berdasarkan keterangan ini, maka banyak fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijâri dengan segala jenisnya. Begitu pula dari penjelasan ini nampak, bahwa asuransi yang saat ini banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan, termasuk perkara yang dilarang syariat. Adapun asuransi yang dibolehkan, yaitu asuransi at-Ta'mîn at-Ta'âwuni. Asuransi yang bertujuan untuk gotong royong, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Makalah ini ditulis oleh Ustadz Muslim al-Atsari bersumber dari kitab Mausûah al-Qadhâyâ al-Fiqhiyyah al-Mu'âshirah wal-Iqtishâd al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Sâlûs, Penerbit Dar ats-Tsaqafah Qathar, halaman 363-395. Beliau merupakan pengajar bidang fiqh dan ushûl di Kuliyah Syari'at Universitas Qathar. Penulisan makalah ini, juga dengan mengambil beberapa tambahan dari rujukan lain.

Sumber :
http://www.almanhaj.or.id/content/2589/slash/0
6 Desember 2009

Menyoal Asuransi Dalam Islam

Disusun oleh: Ustadz Muslim Atsari

Asuransi adalah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.

Dari penjelasan ini nyata bahwa di dalam perjanjian asuransi itu ada unsur:
Bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan pihak perusahaan asuransi.
Bahaya atau musibah yang terjadi.
Angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.

SEJARAH ASURANSI

Asuransi pertama kali muncul dalam bentuk asuransi perjalanan di lautan yang muncul pada abad 14 Masehi. Namun asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi, yaitu bahwa seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar, jika kapal itu hancur, maka pinjaman itu hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.

Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi yang merupakan perjanjian yang bersifat riba, berdasarkan unsur perjudian dan menghadang bahaya. Asuransi tetap seperti ini sebagaimana muncul pertama kali.

Kemudian muncul asuransi di daratan di kalangan bangsa Inggris pada abad 17 Masehi. Bentuk asuransi yang pertama kali muncul adalah asuransi kebakaran. Hal ini muncul setelah kejadian kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Lebih dari 13 ribu rumah dan sekitar 100 gereja menjadi korban kebakaran. Kemudian asuransi kebakaran ini menyebar di banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Kemudian asuransi semakin menyebar dan bertambah jenis-jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.

JENIS-JENIS ASURANSI

Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi ada dua jenis:

1) At-Ta’miin at-Tijaariy

Asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah -atau apa yang disepakati. Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan, dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun. Dan ini merupakan keuntungannya. Inilah asuransi yang dibacarakan di sini. Dan ini terlarang karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu pihak.

2) At-Ta’miin at-Ta’aawuniy

Atau juga disebut at-Ta’miin at-Tabaaduliy atau at-Ta’miin al-Islamiy. Yaitu asuransi gotong-royong atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanyalah bentuk tolong menolong di dalam menanggung kesusahan. Contohnya: sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang, dengan uang ini mereka membantu orang yang terkena musibah. Perusahaan asuransi islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.

Selain itu ada jenis asuransi yang lain, yaitu:

3) At-Ta’miin al-Ijtima’iy (jaminan keamanan sosial)

Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara terhadap para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun. Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dengan prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, uang tersebut diberikannya dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Bahkan jenis ini sebenarnya tidaklah termasuk asuransi. Hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.

Macam-Macam Asuransi Tijari

At-Ta’miin at-Tijaariy, asuransi yang bertujuan mencari keuntungan sangat banyak macanya, antara lain:

1) Asuransi Kecelakaan

Asuransi jenis ini dilakukan pada harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga dilakukan pada pertanggungan jawab nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.

2) Asuransi Pribadi

Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, di sisi kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Hal ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.

3) Asuransi Jiwa

Yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ke tiga, sebagai ganti angsuran-angsuran yang diberikan, ketika matinya nasabah, atau tetap hidupnya nasabah sampai umur tertentu. Hal ini ada beberapa macam:

Asuransi untuk Keadaan Kematian

Yaitu diberikan sejumlah uang pada saat kematian nasabah. Ini ada 3 macam:

a) Asuransi Selama Hidup

Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu mati sebelum lewat 20 tahun, maka angsurannya gugur, dan orang yang diasuransikan berhak mendapatkan jumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah itu masih hidup lewat 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidaklah diberikan kepada orang yang diansuransikan kecuali setelah kematian nasabah.

b) Asuransi Selama Waktu Tertentu

Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika nasabah mati di dalam jarak waktu asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jarak waktu asuransi, maka ansuran yang telah dia bayar hilang, dan perusahaan mengambil uang tersebut dengan tanpa imbalan apa-apa. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.

c) Asuransi Selama Hidupnya Orang yang Diasuransikan

Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan, jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika orang yang diansuransikan mati sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

Asuransi untuk Keadaan Tetap Hidup

Yaitu tetap hidupnya nasabah, ini kebalikan dari bentuk 1. a. Yaitu nasabah asuransi membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan juga akan membayar sejumlah uang tertentu juga -yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah mati sebelum waktu yang ditetapkan, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Dan ahli warisnya tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

Asuransi Kombinasi

Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah mati pada selang waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika dia masih hidup setelah selesainya waktu asuransi. Oleh karena itu angsuran angsuransi jenis ini lebih besar dari dua jenis sebelumnya.

Asuransi Dari Musibah-Musibah yang Menimpa Badan

Yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya, selama masa asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu mati. Asuransi kesehatan termasuk jenis ini, dan terkadang asuransi kesehatan mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tubuh yang tertentu, atau tindakan operasi penyakit, atau sebagian penyakit. Dan dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang diasuransikan dan itu yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan.

HUKUM ASURANSI

Asuransi Tijari (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya hukumnya haram, karena:

1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian penggantian harta yang mengandung ketidak pastian dan memuat bahaya yang sangat banyak.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513)

Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan “Aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan.” Atau “Aku menjual tanah ini mulai sini sampai jarak kerikil yang aku lemparkan.” Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.

Sedang jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung ketidak jelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim karya Imam Nawawi)

2. Asuransi termasuk jenis perjudian. Karena padanya terdapat bahaya kerugian di dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan angsuran-angsuran asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian asuransi masuk di dalam larangan perjudian di dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah/5: 90)

3. Perjanjian asuransi mengandung riba. Karena keuntungan yang didapati oleh perusahaan adalah tanpa imbalan, sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan larangan riba sangat keras di dalam Islam. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al-Baqarah/2: 278-279)

4. Asuransi merupakan perlombaan yang hukumnya haram, karena mengandung ketidak jelasan, bahaya kerugian, dan perjudian. Dan syari’at Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam untuk meninggikan Islam dengan hujjah atau dengan senjata. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatasi perlombaan yang pemenangnya mengambil upah dengan tiga macam:

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah.” (HR. Abu Dawud, no. 2574; Tirmidzi, no. 1700)

Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya -dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. (Lihat Tuhfatul Ahawadzi)

5. Perjanjian asuransi, di dalamnya mengandung pengambilan harta orang lain dengan tanpa imbalan, ini merupakan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’/4: 29)

6. Perjanjian asuransi mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syari’at. Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk menjamin bahaya jika terjadi dengan imbalan setoran angsuran nasabah.

Berdasarkan keterangan ini, maka banyak sekali fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijari dengan segala jenisnya. Dari penjelasan ini nampak bahwa asuransi yang banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan termasuk perkara yang dilarang di dalam Syari’at. Adapun asuransi yang dibolehkan adalah At-Ta’miin at Ta’aawuniy (asuransi gotong royong) sebagaimana di atas. Wallahu a’lam.

[Makalah ini diringkas dari kitab Mausuu'ah Al-Qadhaayaa Al-Fiqhiyyah Al-Mu'aashirah wal Iqtishaad Al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad As-Saaluus, ustadz Fiqh dan Ushuul di kuliyah Syari'at Univ. Qathar, hlm 363-395, penerbit: Dar Ats-Tsaqafah Qathar; dan beberapa tambahan dari rujukan lain]

***

Disusun oleh: Ustadz Muslim Atsari
Artikel www.ekonomisyariat.com, Sumber :
http://www.ekonomisyariat.com/fikih-ekonomi-syariat/menyoal-asuransi-dalam-islam.html
10 Juli 2009