Jumat, 18 Desember 2009

Sejarah Asuransi Syariah


By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Asuransi Syariah atau takaful, kata itu memang baru dikenal di dunia secara populer sekitar 3 dasawarsa ini saja. Sebelumnya, kata ini tidak pernah disebut-sebut atau menjadi istilah atas sebuah konsep asuransi yang sesuai dengan syariah Islam. Karena asuransi syariah – dalam wujud seperti yang ada sekarang – memang sebelumnya tidak ada. Karena asuransi syariah adalah bentuk dari sistem asuransi (konvensional), yang lahir, tumbuh dan berkembang di Barat, lalu kemudian sistem operasionalnya disesuaikan dengan syariah dan nilai-nilai Islam, sehingga menjadi asuransi syariah atau takaful.

Namun demikian, bukan berarti bahwa asuransi syariah tidak memiliki cikal bakal atau embrio yang menjadi “acuan” dasar bagi berkembangnya konsep ini. Asuransi Syariah memiliki embrio dalam sejarah hukum Islam, yang kemudian menjadi acuan dalam berkembangnya asuransi syariah atau minimal memiliki beberapa sisi kemiripan dengan bentuk asuransi syariah modern. Berikut adalah beberapa akad atau konsep yang terdapat dalam literatur fiqh Islam, yang memiliki persamaan dengan konsep asuransi syariah :

Pertama : Nidzam Al-Aqilah

Nidzam Al-Aqilah adalah usaha untuk saling memikul atau bertanggung jawab terhadap sesama keluarga, yang melakukan satu tindakan dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Sebagai contoh apabila salah seorang dari anggota satu keluarga meninggal dunia karena kesalahan yang dilakukan oleh keluarga yang lain (yang terjadi tanpa unsur kesengajaan, seperti kecelakaan dsb), maka ahli waris korban akan dibayar dengan diyat (uang darah) sebagai kompensasi dari keluarga yang menabraknya. Saudara terdekat dari penabrak ini disebut aqilah. Mereka bersama-sama mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan yang tidak disengaja tersebut.

Terhadap sistem ini, Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengomentari bahwa Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini terlihat dari hadits yang menceritakan pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail, dimana salah seorang dari mereka memukul yang lainnya dengan batu hingga mengaikibatkan kematian wanita tersebut dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Pewaris korban membawa permasalahan tersebut ke Pengadilan. Rasulullah SAW memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik laki-laki maupun wanita. Sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah diyat yang harus dibayar oleh Aqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.

Meskipun tidak mirip secara konsepnya dengan asuransi syariah, namun pada nidzam al-aqilah ini terdapat unsur saling tolong menolong dalam membantu orang yang terkena musibah. Dan orang yang terkena musibah di sini adalah si penabrak, dan juga korban yang ditabrak. Keluarga saling bahu membahu membantu si penabrak (dengan bentuk pengumpulan uang untuk membayar diyat, dan umumnya diyat dibayar sejumlah 100 ekor unta), dan juga secara bersamaan membantu ahli waris pihak yang ditabrak (dengan uang diyat tadi). Sehingga secara filosofi, bahwa konsep ini mirip dengan asuransi syariah dari sisi saling tolong menolong terhadap keluarga korban, baik penabrak maupun korbannya. Bandingkan dengan asuransi (misalnya asuransi kendaaran bermotor), dimana ia harus mengganti kerugian pihak ketiga yang ditabarknya. Bedanya, dalam aqilah yang membayar adalah keluarga penabrak. Sedangkan dalam asuransi (syariah) yang membayar adalah sesama peserta.

Kedua : Tanahud

Tanahud merupakan ibarat dari makanan yang dikumpulkan oleh satu kelompok tertentu (misalnya kelompok kafilah musafir, atau satu suku tertentu) menjadi satu dalam satu wadah tertentu. Kemudian makanan yang telah dikumpulkan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka. Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengemukakan mengenanai tanahud atau an-nihd, “..(tanahud terjadi) dalam bentuk bahwa setiap orang (dari kelompok tersebut) membayar/ mengumpulkan makanan dengan kadar sama seperti yang dikumpulkan orang lain untuk keperluan perbekalan dalam perjalanan. Mereka membayar/ mengumpulkan dengan kadar yang sama, namun mereka tidak mendapatkan pembagiannya dengan jumlah yang sama. Bisa jadi ada diantara anggota kelompok yang mendapatkan jatah lebih banyak, dan ada juga yang mungkin tidak mendapatkan pembagian atau mendapatkan dengan porsi yang lebih kecil….”

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka.” (HR. Muslim, Kitab Fadha’il Shahabah, Bab Min Fadha’il Asy’ariyin)

Dalam Tanahud, konsep saling tolong menolong yang menyerupai bentuk dasar asuransi syariah sudah semakin terlihat, yaitu dengan adanya usaha bersama untuk saling memberikan kontribusi dalam bentuk makanan yang disimpan di satu tempat tertentu. Pada saatnya kemudian (seperti ketika sedang paceklik, atau gagal panen) makanan tersebut dibagikan kepada mereka secara merata, atau dibagikan sesuai dengan kadar kebutuhannya masing-masing.

3. Aqd Al-Hirasah

Aqd al-Hirasah adalah kontrak pengawal keselamatan yang disertai dengan jaminan. Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu seperti individu yang ingin selamat lalu ia membauat kontrak dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar uang kepada pengawal dengan k0npensasi keamanannya akan dijaga oleh pengawal tersebut.

Pada kontrak ini, memang tidak terlihat secara langsung adanya hubungan dalam bentuk kontribusi yang dibayarkan oleh seseorang untuk kepentingan orang lain. Namun dari sisi yang lain, bahwa aqd al-hirasah ini membawa pesan tentang perlindungan dari suatu aset atau bahkan juga jiwa, dengan cara membayar sejumlah uang tertentu kepada satu pihak yang menjaga keamanannya. Sehingga secara substansinya, aqd al-hirasah ini menyerupai konsep perlindungan dalam asuransi.

4. Dhaman Khatr At-Thariq

Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Para pedagang muslim masa lalu ketika ingin mendapatkan perlindungan keselamatan, mereka membuat kontrak dengan orang-orang yang kuat dan berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, sementara pihak lainnya menjaga keselamatan perjalanannya.

Sama halnya seperti aqd al-hirasah, substansi dari dhaman khatr al-thariq ini adalah perlindungan terhadap keselamatan jiwa maupun aset dengan cara membayar sejumlah uang tertentu. Terkadang dhaman khatr at-thariq juga bisa disertai dengan penjaminan atau penggantian apabila di tengah perjalanan seseorang yang telah membayar uang jaminan tersebut mengalami gangguan keamanan di wilayah tertentu.

5. Al-Qasamah

Al-qasamah merupakan sebuah konsep perjanjian yang berhubungan dengan manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran peserta dari suku atau majlis tertentu. Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris anggota suku atau mejlis tersebut yang meninggal dunia dan tidak diketahui siapa pelaku yang menyebabkannya meninggal dunia.

Secara konsepnya, al-qasamah hampir mirip dengan tanahud dan juga nidzam al-aqilah. Semuanya sama-sama memberlakukan kontribusi untuk saling tolong menolong. Bedanya pada al-qasamah ini pengumpulan “dananya” dilakukan di awal sebelum adanya kejadian anggota kelompok atau suku yang meninggal dunia. Selain itu, yang menerima manfaat adalah ahli waris yang salah seorang keluarganya ada yang meninggal dunia, namun tidak diketahui siapa yang melakukan pembunuhan (tidak sengaja) tersebut. Secara konsepsinya al-Qasalah lebih dekat dengan sistem asuransi (syariah), yang digunakan sekarang ini.

Perbandingan Antara Bentuk Embrio Asuransi Syariah Dengan Asuransi Syariah Modern

Bentuk-bentuk muamalah di atas, karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi syariah maka oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan asuan dari bentuk asuransi syariah yang dikelola secara profesional. Perbedaannya adalah bahwa sistem tersebut didasari atas amal tathawwu‘ dan tabarru‘ yang tidak berorientasi pada profit dalam pengelolaanya. Dan kendatipun secara konsep dasarnya asuransi syariah juga dibangun atas dasar ta’awuni, namun di sisi pengelolaannya, asuransi syariah sebagai sebuah institusi bisnis juga tetap memerlukan profit untuk operasional perusahaan serta kelangsungan usahanya.

Di sisi yang lalin, asuransi (konvensional) merupakan satu bentuk transaksi penjaminan yang lahir, tumbuh dan berkembang di dunia Barat, sehingga memiliki sifat watak dan karakter sebagaimana orang-orang barat. Beberapa nilai yang terdapat dalam asuransi konvensional sangat bertentangan dengan konsep dalam asuransi syariah. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa Islam mengharamkan sistem asuransi. Sistem asuransi secara filosofi dasarnya merupakan sistem yang baik, yang “menjamin” harta benda atau bahaya tertentu. Dan oleh karenanya perlu adanya penyesuaian, sehingga sistemnya sejalan dengan nafas Islam serta memberikan maslahat yang jauh lebih luas kepada masyarakat.

Artinya, kendatipun secara bentuknya asuransi syariah “meniru” bentuk asuransi konvensional, namun secara konsepsinya, nilainya, sistemnya dan mekanismenya, tetap mengacu pada syariah Islam. Adapun penggambaran mengenai embrio asuransi syariah sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan bukti bahwa secara konsep dasarnya, Islam telah memiliki konsepsi asuransi syariah. Dan oleh karenanya perlu dikembangkan dan didukung oleh seluruh kaum muslimin….

Wallahu A’lam Bis Shawab

Sumber :
http://asuransisyariah.myblogrepublika.com/category/sejarah-asuransi-syariah/
20 April 2009

Sumber Gambar:
http://myadhit.co.cc/wp-content/uploads/2009/06/syariah.jpeg

Menanti Gebrakan Asuransi Syariah

Yusuf Karim

Penduduk mayoritas muslim membuat Indonesia menjadi pangsa besar bisnis syariah salah satunya asuransi syariah. Namun hingga kini sektor itu masih belum berkembang luas. Masyarakat masih berpatokan return investasi tinggi yang konvensional.

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994, yakni PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) yang berdiri pada 24 Februari 1994.

Asuransi syariah pertama itu dimotori Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia.

Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan, yaitu asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan asuransi kerugian syariah PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.

Baru setelah itu, terjadi peningkatan signifikan dalam pangsa pasar asuransi syariah. Sebagai contoh, pendirian bisnis asuransi jiwa syariah dilakukan oleh perusahaan Asuransi Syariah Mubarakah.

Sedangkan strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan, antara lain PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera.

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) periode 2008-2011, Mohammad Shaifie Zein menilai perkembangan asuransi syariah beberapa tahun terakhir menunjukkan catatan cukup baik.

Premi perusahaan asuransi syariah pada 2006 sebesar Rp 497 miliar dengan total aset Rp 917 miliar. Angka itu kemudian meningkat menjadi Rp 1,2 triliun dengan total aset Rp 1,9 triliun pada 2007.

Namun ia mengaku belum mengetahui secara persis perkembangan di akhir 2008. "Di 2008, kira-kira total asetnya diatas Rp 2 triliun. Kalau tahun ini kemungkinan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya," kata dia.

Berkah bisnis syariah ini pula yang mendasari peluncuran Prudential unit link syariah pada 2007 lalu. Hanya selang setahun lebih, produk tersebut hingga akhir 2008 telah memiliki total dana kelola Rp 752 miliar meningkat dari posisi akhir 2007 Rp 496 miliar.

Assistant Vice President Head of Syariah and Product Development Prudential Ade Bungsu menjelaskan bahwa peluncuran Pru-link Syariah berawal dari riset yang dilakukan oleh perusahaannya.

"Dimulai pada riset di 2003, saat itu minat terhadap produk syariah sebenarnya sudah cukup tinggi. Namun karena belum adanya berbagai instrumen investasi, maka tidak ada pengembangan yang berarti," sebutnya.

Menindaklanjuti survei tersebut, Prudential masih menahan diri. Kemudian pada 2006 dilakukan kembali survei, saat itu, produk-produk berbasis syariah sudah mulai bermunculan seperti Jakarta Islamic Index dan produk investasi berbasis syariah lainnya.

Survei menunjukkan karakteristik masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim masih cenderung mengambang. "Hampir 70% masih melihat return yang ditawarkan. Artinya kalau return-nya sama dengan yang ditawarkan oleh konvensional mereka mau masuk syariah, kalau di bawah konvensional mereka tidak mau," imbuhnya.

Sementara masyarakat yang berkarakter syariah loyalis hanya 10%, sisanya yang 20% masyarakat yang justru konvensional loyalis. Yang dimaksud syariah loyalis adalah mereka yang hanya mau menggunakan produk keuangan syariah, demikian juga untuk yang loyalis.

Ade menjelaskan bahwa berdasarkan hasil tersebut, maka Prudential berusaha menciptakan produk asuransi unit link berbasis syariah yang tidak boleh kalah dengan produk serupa yang konvensional. "Mulai dari layanannya, hingga returnnya. Minimal sama dengan yang ada dikonvensional," sebutnya.

Selain itu, dari hasil survei 2003 juga disebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan masyarakat enggan menggunakan produk syariah adalah disebabkan minimnya pengetahuan akibat jarangnya sosialisasi yang dilakukan.

Hal ini yang membuat Prudential melakukan aksi sosialisasi secara gencar. Ini didukung dengan 60 ribu agen sales force yang sebelumnya juga menjual produk-produk konvensional.

Ade menilai bahwa ke depan kendala yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana mengotimalkan potensi pasar syariah. Di lain sisi, penetrasi produk asuransi maupun produk keuangan syariah relatif masih rendah, apalagi produk asuransi syariah.

"Asuransi konvensional hanya 5%, demikian juga untuk produk syariah juga masih minim. Ini yang menjadi perhatian kami," paparnya.

Selain itu, yang juga penting adalah menjaga bagaimana produk-produk syariah bisa benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip syariah. Jangan syariah hanya digunakan sebagai simbol belaka. Ini akan menghancurkan kredibilitas industri asuransi syariah. [E1]

Sumber :
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2009/05/20/108677/menanti-gebrakan-asuransi-syariah/
20 Mei 2009

Pandangan Al-Qur’an Mengenai Asuransi Syariah

Pertanyaan :

Assalamualaikum wr. wb. Pengasuh tanya jawab ekonomi syariah yang terhormat, dalam sebuah seminar pernah dijelaskan oleh seorang pembicara, bahwa adanya lembaga keuangan syariah, seperti asuransi syariah, belum dikenal pada zaman Rasulullah, Saw. Timbul pertanyaan dalam benak saya, kalau begitu dalil hukum sebagai dasar operasional asuransi syariah dalam al-Qur’an ada atau tidak? Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan saya mohon penjelasan mengenai masalah tersebut. Terima kasihh atas tanggapannya.

Wassalamualaikum wr. wb.
Ahmad Husnayain-Jakarta husnayain@eudoramail.com

Jawab :

Wa’alaikumussalam wr. wb.
Sahabat Ahmad yang budiman, memang betul apa yang diungkapkan oleh pembicara di seminar tersebut. Pada dasarnya, umat Islam hanya mewarisi lembaga keuangan dalam bentuk Baitul Mal. Walaupun begitu, dalam merespon perkembangan zaman, ulama kontemporer, khususnya yang konsent dalam pengkajian ekonomi Islam, melakukan ijtihad ekonomi dengan merumuskan lembaga keuangan syariah modern, seperti bank syariah ataupun asuransi syariah.

Berkaitan dengan pertanyaan di atas, pengasuh dapat menjelaskan bahwa landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktek asuransi syariah. Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam. Kebanyakan ulama (jumhur) memakai metodologi konvensional dalam mencari landasan syariah (al-asas al-syar’iyyah) dari suatu pokok masalah (subject matter). Dalam hal ini subject matter-nya adalah lembaga asuransi.

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-ta’min secara nyata dalam al-Qur’an. Walaupun begitu al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (peril) di masa mendatang.

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam praktek asuransi adalah:
QS al-Maidah [5]: 2. Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada berusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).

QS. al-Baqarah [2]: 182. Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Maka dari itu, manusia dituntun oleh Allah Swt. agar dalam setiap langkah kehidupannya selalu dalam bingkai kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat difahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan-nya di masa mendatang dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.

QS al-Baqarah [2]: 261. Allah Swt. menegaskan bahwa orang yang rela menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan melipar gandakan pahalanya. Sebuah anjuran normatif untuk saling berderma dan melakukan kegiatan sosial yang diridhai oleh Allah Swt. Praktek asuransi penuh dengan muatan-muatan nilai sosial, seperi halnya dengan pembayaran premi ke rekening tabarru’ adalah salah satu wujud dari penafkahan harta di jalan Allah Swt. karena pembayaran tersebut diniatkan untuk saling bantu-membantu anggota perkumpulan asuransi jika mengalami musibah (peril) di kemudian hari.

QS. Surat Yusuf [12]: 46-49. Pada ayat ini mengandung semangat untuk melakukan proteksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang akan menimpa di masa datang. Baik peristiwa tersebut dalam bentuk, kecelakaan, kebakaran,terganggunya kesehatan, kecurian, ataupun kematian. Pada peristiwa di atas disebutkan bahwa Nabi Yusuf telah melakukan proteksi (pengamanan) atau perlindungan dari tujuh tahun masa paceklik dengan melakukan saving (penabungan) selama tujuh tahun yang lalu. Pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas untuk diterapkan pada praktek asuransi adalah dengan melakukan pembayaran premi asuransi berarti kita secara tidak langsung telah ikut serta mengamalkan prilaku proteksi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf. Karena prinsip dasar dari bisnis asuransi adalah proteksi (perlindungan) terhadap kejadian yang membawa kerugian ekonomi.

Sahabat Ahmad, demikian penjelasan yang dapat pengasuh sampaikan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang ekonomi syariah. Wallahu ‘alam bis showab. [hsn]

Sumber :
http://www.pkes.org/lks/37-asuransi-syariah-/85-pandangan-al-quran-mengenai-asuransi-syariah.html
8 Desember 2009

Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia

Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 49 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 40 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah.

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia.

Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.

Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.

Stretegi pengembangan bisnis asuransi syariah melalui pendirian perusahaan dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerak pada bisnis asuransi jiwa syariah. Sedangkan strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan asuransi, antara lain PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera.

Bahkan, sejumlah pemain asuransi besar dunia pun turut tertarik masuk dalam bisnis asuransi syariah di Indonesia. Mereka menilai Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merupakan potensi pengembangan bisnis cukup besar yang tidak dapat diabaikan. Di antara perusahaan asuransi global yang masuk dalam bisnis asuransi syariah Indonesia adalah PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan PT Prudential Life Assurance.

Sumber :
Republika, 17 Maret 2008, dalam :
http://www.prudent.web.id/asuransi-prudential/berita/sejarah-asuransi-syariah-di-indonesia.html

Asuransi Syariah Bertumbuh

Industri asuransi pada 2010 diperkirakan akan tumbuh signifikan, menyusul makin diminatinya asuransi syariah. Hal itu juga didukung oleh Keputusan baru dari Dirjen Pajak yang menyangkut yang lebih memberi keleluasaan bagi agen (tenaga penjual).

"Ini adalah suatu yang nyata bahwa asuransi syariah makin diminati orang. Sekarang proporsinya sudah 50:50 dibandingkan dengan asuransi konvensional. Nasabah baru di asuransi syariah bukan hanya orang muslim tapi juga banyak non muslim," ungkap Dirut AXA Financial Indonesia, Ardin Lauhatta di Hotel Santikan, Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, asuransi syariah makin menemukan momentum pertumbuhannya setelah terjadinya krisis keuangan global. "Sistem yang lebih transparan dan adil membuat asuransi syariah makin diminati masyarakat," kata Ardin.

Dikatakan, dengan momentum tersebut maka asuransi syariah memiliki pertumbuhan yang amat pesat dalam setahun terakhir. "Di perusahaan kami, porsi perolehan premi baru antara asuransi konvensional dan asuransi syariah sudah 50:50. Padahal, produk asuransi syariah belum lama diluncurkan," ujarnya.

Dia menduga pertumbuhan itu juga terjadi di perusahaan lainnya di mana produk asuransi syariah mendapatkan banyak nasabah baru. Apalagi, sekarang ini pemahaman masyarakat terhadap asuransi sudah makin luas dan menganggap sebagai suatu kebutuhan yang tidak bisa dielakkan.

"Seseorang yang mempunyai gaji atau penghasilan pas-pasan, maka akan sangat berisiko jika tidak mempunyai asuransi. Karena asuransi akan mempertahankan kelangsungan pendidikan anak ataupun kesehatan keluarga," tambah Ardin.

Tentang Keputusan Dirjen Pajak No. PER-57/PJ/2009 di mana pajak yang berlaku bagi agen itu dari 50% pendapatan, dan 50% lagi dianggap biaya, menurut dia, ibarat insentif yang akan mendorong tumbuhnya agen-agen asuransi baru.

"Semakin banyak jumlah agen, kapasitas pendistribusian asuransi juga bakal naik. Agen asuransi saat ini baru sekitar 360.000 orang," ujarnya. Dia berharap, pertumbuhan premi yang pesat diharapkan bisa paralel dengan pertumbuhan pemegang polis.

Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan pesat premi asuransi jiwa cenderung tidak diikuti pertumbuhan pemegang polis. Data per akhir 2008 menunjukkan, pendapatan premi Rp 46,7 triliun, enam kali lipat dibandingkan pendapatan premi pada 2000, sekitar Rp 7,3 triliun.

Namun, pada periode yang sama, jumlah pemegang polis hanya naik 1,4 kali dari 24,3 juta tahun 2000 menjadi 29,5 juta polis. Bahkan, sejak tahun 2003, pertumbuhan jumlah pemegang polis amat lambat.

Dalam dekade terakhir, penetrasi asuransi jiwa atau rasio jumlah polis terhadap penduduk Indonesia hanya naik dari 12 persen ke 13 persen. Adapun di negara lain, seperti Malaysia, naik dari 30 persen menjadi 41 persen dan Thailand naik dari 3 persen menjadi 7 persen. (A-78/A-26).***

Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=111788
22 November 2009

Bisnis yang Kian Menarik - Asuransi Syariah

Febry Mahimza, Windarto, dan Eko Zulham


PASAR asuransi syariah memang masih mungil. Menurut catatan Muhaimin Iqbal, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), total aset asuransi syariah pada semester I kemarin hanya Rp 967,458 miliar. Sangat njomplang jika dibanding asuransi jiwa konvensional yang telah mencapai Rp 18,271 triliun. Karena pasarnya yang belum berkembang itulah yang membuat perusahaan asuransi berskala global tergiur untuk terjun ke sini. Setelah PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia meluncurkan produk syariahnya pada Maret silam, kini giliran PT Prudential Life Indonesia mengayunkan langkah serupa.

Tak tanggung-tanggung, Prudential langsung menyisihkan duitnya sebesar Rp 37 miliar sebagai modal awal. Sebagai langkah awal, ada tiga produk asuransi berbasis unit link yang ditawarkan, yakni Prulink Syariah Rupiah Equity Fund, Prulink Syariah Rupiah Managed Fund, dan Prulink Syariah Fixed Income Fund. ”Modal sebesar Rp 37 miliar itu sebagai bukti keseriusan kami menggarap asuransi syariah,” kata Kevin Holmgren, Presdir PT Prudential Life Indonesia.

Seorang agen pemasar Prudential bertutur, hanya dalam tempo sebulan, sudah ada ratusan nasabah yang berhasil dijaring. ”Tak hanya orang Islam saja yang tertarik, orang beragama lain juga banyak yang membeli produk ini,” ujarnya.

Saat dikonfirmasi, Direktur Keuangan Prudential Willian Kwan, enggan mengomentari hal tersebut. Ia mengaku, setelah dipasarkan selama dua bulan, saat ini sebagian besar nasabah Prudential syariah lebih memilih Prulink Syariah Rupiah Managed Fund, yang merupakan kombinasi antara equity dan fix income. ”Sekitar 70% nasabah syariah kami memilih produk tersebut,” tuturnya.

Tak mau kalah, PT BNI Life Insurance Divisi Syariah juga bersiap-siap meluncurkan produk barunya, awal Desember ini. Ada tiga macam unit link yang ditawarkan. Pertama, unit link syariah Optima yang memberikan return hingga lebih dari 15%, unit link syariah seimbang dengan return 11%-12%, dan unit link stabil yang memberikan return antara 9%-10% per tahun. ”Tiga produk itu dipasarkan melalui dua jalur, yakni lewat agen pemasar dengan label B-Life Investlink Syariah dan co-branding dengan Bank BNI (B-Life Amanah Investa),” tutur Ario Soesatio Adji, Kepala Divisi Syariah PT BNI Life Insurance.

Kendati pemasarannya baru akan digeber awal tahun depan, Ario optimistis mampu menjual 500 ribu polis dengan premi hingga Rp 10 miliar. Soalnya, pemasaran produk-produk ini didukung langsung oleh Bank BNI serta 500 agen yang tersebar di 15 kantor cabangnya. ”Saya yakin target itu akan tercapai akhir 2008. Saat ini dana kelolaan kami sudah mencapai Rp 10 miliar atau tumbuh lebih dari 200%,” paparnya.
Menurut Muhaimin Iqbal, banyak investor yang tertarik terjun ke asuransi syariah karena pertumbuhan bisnisnya cukup pesat. Pada semester I kemarin saja, pertumbuhan bisnis asuransi syariah mencapai 83,06% jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Itulah yang mendorong asuransi asing pun ikut masuk ke segmen ini. Perkara total asetnya yang masih tertinggal jauh dari konvensional, kata Muhaimin, lantaran modal minimal yang dipatok pemerintah terlalu kecil, hanya Rp 2 miliar. ”Agar bisa berkembang, mestinya modal minimal asuransi syariah ditetapkan Rp 20 miliar,” ujarnya.

Sudah begitu, produk-produk yang dijajakan perusahaan-perusahaan itu juga nyaris seragam. ”Sebagian besar masih mirip produk konvensional. Yang diubah hanya proses akadnya saja,” lanjut Muhaimin. Akibatnya, yang terjadi bukanlah membesarkan pasar, melainkan saling berebut pasar yang sudah ada. 

Sumber :
http://www.majalahtrust.com/ekonomi/keuangan/1580.php
18 Desember 2009

Lebih Adil dengan Asuransi Syariah

Tak kenal maka tak sayang. Setidaknya begitulah potret yang bisa diambil dari masih kurangnya minat masyarakat mengikuti asuransi syariah. Ini tak lain karena kurangnya pengetahuan tentang lembaga keuangan tersebut. Masyarakat masih minim dengan pengetahuan asuransi. Apalagi ketika asuransi telah disandingkan dengan nama syariah, tentu lebih banyak istilah yang perlu diketahui. Tak hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, sebenarnya berasuransi juga sangat penting dijalankan oleh pebisnis dalam rangka menanggulagi risiko kerugian pada aset-aset usahanya.

Sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), asuransi syariah diartikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.

Jika seseorang menjadi peserta atau asuransi syariah, dalam istilah syariah disebut sebagail muamman, sedangkan perusahaan asuransi disebut dengan muammin. Selayaknya memulai sebuah asuransi, nasabah mengadakan kontrak dengan perusahaan asuransi. Nah, di sini lah perbedaannya dimulai.

Pada dasarnya asuransi syariah dan asuransi konvensional mempunyai tujuan sama, yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Namun beberapa perbedaan mendasar dalam kontrak awal menjadikan asuransi syariah dinilai lebih fair dibandingkan asuransi konvensional.

Menurut Ketua Badan Pelaksana Harian DSN Ma’ruf Amin, berbeda dengan asuransi konvensional yang menerapkan kontrak jual beli atau biasa disebut tabaduli, asuransi syariah menggunakan kontrak takafuli atau tolong menolong antara nasabah satu dengan nasabah yang lain ketika dalam kesulitan. “Jadi di asuransi syariah ada risk sharing,” ujar Ma’ruf. Sedangkan dengan akad tabaduli, terjadi jual beli atas risiko yang dipertanggungkan antara nasabah dengan perusahaan asuransi. Dengan kata lain terjadi transfer risiko (risk transferring) dari nasabah ke perusahaan asuransi.

Pengelolaan dana melalui asuransi syariah diyakini dapat terhindar dari unsur yang diharamkan Islam yaitu riba, gharar (ketidakjelasan dana) dan maisir (judi). Untuk itu perusahaan asuransi syariah memegang amanah dalam menginvestasikan dana nasabah sesuai prinsip syariah. Sesuai akadnya, mudharabah, yaitu akad kerja sama dimana peserta menyediakan 100% modal, dan dikelola oleh perusahaan asuransi, dengan menentukan kontrak bagi hasil.

Jika nasabah asuransi syariah mengajukan klaim, dana klaim berasal dari rekening tabarru’ (kebajikan) seluruh peserta. Berbeda dengan klaim asuransi konvensional yang berasal dari perusahaan asuransinya.

Satu lagi kelebihan asuransi syariah, yaitu tidak mengenal istilah dana hangus layaknya asuransi konvensional. Peserta asuransi syariah bisa mendapatkan uangnya kembali meskipun belum datang jatuh tempo. Karena konsepnya adalah wadiah (titipan), dana dikembalikan dari rekening peserta yang telah dipisahkan dari rekening tabarru’. Lagi pula biaya operasional asuransi syariah. Hal tersebut wajar, mengingat pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis asuransi, terbatas pada kisaran 30% dari premi, sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama dengan memiliki nilai 70% dari premi. Bandingkan dengan pembebanan biaya operasional asuransi konvensional yang ditanggung seluruhnya oleh pemegang polis, sehingga pembentukan nilai tunai menjadi lambat di tahun-tahun pertama menjadi bernilai nol.

Kondisi tersebut juga memungkinkan peserta asuransi umum syariah menerima kembali sebagian premi jika ternyata hingga saat jatuh tempo belum ada klaim. Tentunya juga dengan perhitungan bagi hasil yang telah disetujui di awal kontrak, yang nilainya bergantung pada hasil investasi pada tahun tersebut. (SH)

Sumber :
http://www.asuransisyariah.net/2008/08/lebih-adil-dengan-asuransi-syariah.html